Senin, 17 Januari 2011

CORETAN SEORANG MAHASISWA MENGENAI SEBUAH PELAYANAN PUBLIK

Sebelumnya  mohon maaf, ini hanyalah sebuah tulisan yang berasal dari pendapat pribadi, tanpa ada maksud apapun. Tulisan ini hanya penyampaian pikiran seorang mahasiswa.
            Sebuah pengalaman pribadi saat perjalanan antara Surabaya – Jakarta untuk berangkat ke kampus tercinta. Terus terang saja, sebagai seorang mahasiswa yang mempunyai kemampuan ekonomi menengah, memilih sarana transportasi yang murah untuk bepergian adalah suatu keharusan. Pilihan tersebut pun jatuh ke kendaraan yang populer untuk perjalanan jarak jauh, menggunakan rel, terdiri dari gerbong – gerbong, dan ditarik oleh lokomotif. Ya, itu adalah kereta api. Saat pembelian tiket kereta api di suatu stasiun, ada calo yang menawarkan tiket juga di situ. Suatu saat juga, ketika menjelang hari raya Idul Fitri, tiket kereta malah tidak ada nomer tempat duduknya, yang berarti menggunakan sistem siapa cepat dia dapat tempat duduk. Dan juga tiket yang dijual melebihi dari tempat duduk yang tersedia. Estimasi waktu kedatangan kereta di tempat tujuan juga terdapat di tiket, tetapi kebanyakan yang terjadi hanyalah keterlambatan.
            Kemudian sesudah hal – hal yang menyangkut mengenai administrasi di atas, keadaan di kereta (ekonomi) sendiri sangat membuat miris. Bagaimana tidak? Keadaan yang penuh sesak dengan penumpang yang melebihi kuota tempat duduk, sehingga ada yang duduk di tengah jalan di gerbong, berlalu lalangnya penjual – penjual yang menawarkan barang dagangannya, dan yang paling parah adalah biasa terjadi tindakan kriminal seperti pencopetan dan sejenisnya. Saya sendiri sudah pernah kecopetan di atas kereta, yang menghilangkan handphone saya.
Sebagai sarana angkutan yang paling diserbu rakyat dan sebagai tempat mendulang rezeki bagi banyak para pedagang, ternyata KA ekonomi kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Masih banyak hal yang memprihatinkan dalam pengelolaan KA ekonomi seperti diterapkannya sistem kanibalisme komponen KA atau pun penerapan system 4:1 yaitu di mana setiap 4 gerbong KA hanya satu gerbong yang dilengkapi rem. Belum lagi WC umumnya yang sangat tidak sehat karena ketiadaan air sehingga dapat menjadi tempat penularan penyakit.
Pengalaman pribadi menjadi penumpang KA ekonomi membuktikan, sistem kanibalisme yang selama ini diterapkan telah menelantarkan penumpang. Karena komponen sudah tidak diproduksi lagi, maka mesin atau pun komponen lokomotif yang rusak diganti dengan mesin atau komponen kereta yang tidak beroperasi. Hasilnya, lokomotif yang diperlengkapi mesin pengganti yang semuanya sudah berusia puluhan tahun itu pun rusak mengakibatkan mesin (lokomotif) mogok berkali-kali. Hal ini tentu saja mengganggu kenyamanan penumpang karena harus menunggu berjam-jam di dalam gerbong yang panas tanpa ada kepastian. Selain itu hal ini pun mengakibatkan jadwal KA lainnya menjadi terlambat.

            Mengapa keadaan seperti itu bisa terjadi? Mengingat kereta api adalah suatu sarana transportasi massif (RMT – Rapid Massive Transportation) yang populer. Di negara – negara lain, Jepang contohnya, pengembangan kereta api selalu terjadi. Kereta api jarak jauhnya mempunyai kecepatan yang bisa mencapai 200 km/jam. Sedangkan di Indonesia mungkin hanya 90 km/jam. Kereta api sendiri bisa digunakan untuk mengurangi kemacetan yang sering terjadi di kota – kota di Indonesia. Di Jepang, kereta api lokal menjadi sarana transportasi favorit bagi masyarakatnya. Masyarakat di sana lebih memilih untuk memakai kereta api sebagai sarana bepergian baik untuk ke tempat kerja, sekolah, maupun untuk berwisata. Keadaan tersebut bisa mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang dipakai oleh masyarakat. Berbeda dengan di Indonesia, kendaraan pribadi menjadi favorit untuk bepergian, sehingga tidak heran sering terjadi macet karena banyaknya kendaraan.
            Karena itulah, seharusnya perkeretaapian di Indonesia harus lebih dikembangkan, baik dari segi pelayanan maupun dari segi kenyamanan. Mungkin bisa dimulai dari menambah rel kereta api untuk kereta api jarak jauh, misal Jakarta – Surabaya, sehingga tidak terjadi keterlambatan maupun kecelakaan yang sering terjadi saat ini. Kemudian membuat jalur – jalur rel lokal yang melewati kecamatan – kecamatan, atau juga bagian – bagian dari kota. Bukannya malah membuat jalur tol tengah seperti yang direncanakan di suatu kota, yang malah hanya menambah kendaraan pribadi yang dipakai, yang juga hanya untuk kalangan tertentu saja. Lebih baik apabila membuat jalur kereta tengah kota, sehingga bisa menjadi sarana transportasi yang lebih dipilih oleh masyarakat. Memang mungkin hal ini tidak bisa dilaksanakan dalam waktu yang singkat, juga hal ini sulit terjadi karena tata kota di indonesia yang bisa dikatakan amburadul, tetapi ini merupakan suatu tindakan jangka panjang untuk pelayanan publik yang lebih baik. Memulai sebuah langkah kecil akan berakhir dengan suatu hasil yang lebih baik yang bisa dibanggakan oleh generasi penerus kita.
            Inilah akhir dari tulisan saya, mohon maaf apabila ada yang merasa tersinggung atau sejenisnya. Ini hanyalah pendapat pribadi. Mohon maaf juga mungkin tulisan ini kurang jelas, karena penulis masih amatir dalam membuat artikel seperti ini.

Sabtu, 20 November 2010

ANALISA KASUS BANK CENTURY DALAM SUDUT PANDANG ETIKA PROFESI AKUNTANSI


November 20, 2009(detikcom)
Mantan pemilik Bank Century yang diduga melakukan penggelapan dana nasabah yaitu Robert Tantular, divonis hakim penjara 4 tahun dengan denda Rp 50 miliar. Demikian disampaikan Hakim Ketua Herdi Agustan saat sidang vonis Robert Tantular di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9). “Robert dinyatakan secara sah melakukan tindak pidana dengan sengaja melaksanakan langkah-langkah yang tidak sesuai dengan perundang-undangan,” ujarnya.
 Menurut data kepolisian, Robert Tantular membawa aset-aset Bank Century sebesar US$ 19,25 juta atau Rp 192,5 miliar ke luar negeri, dan sampai saat ini adik kandungnya Dewi Tantular juga menjadi kejaran pihak interpol di luar negeri karena kasus manipulasi dana nasabah Bank Century. Robert: Kalau Punya Uang Rp 12 Triliun Saya Sudah di Singapura Mantan pemilik Bank Century, Robert Tantular mengaku dirinya tak memiliki banyak uang hingga Rp 12 triliun sebagaimana diberitakan. Menurut Robert, jika dirinya memiliki uang sebanyak itu, maka dirinya pasti sudah berada di Singapura sesaat setelah Bank Century diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan. Penegasan tersebut disampaikan Robert usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9).
 Robert yang diwawancara usai vonis 4 tahun itu terlihat tenang dan tidak emosional, mukanya terlihat lesu. Robert yang dikawal ketat para bodyguard inipun menjelaskan kronologi runtuhnya Bank Century. Menurutnya, hal itu terjadi karena pada bulan September dan Oktober 2008 timbul suatu kondisi yang menyebabkan likuiditas terpuruk sehingga diperlukan talangan dana dari pemerintah. “Jadi memang karena krisis global dan krisis likuiditas,” tegasnya.
Mengenai surat-surat berharga (SSB) bodong, Robert menjelaskan sebenarnya sudah mulai diperbaiki. Pemegang saham asing sebagai pemegang saham pengendali sudah memberikan dana jaminan US$ 220 juta di Dresdner Bank. “Ini sebenarnya sudah dari awal saya kemukakan di Mabes Polri, kenapa tidak diuber yang ini, malah diberitakan seakan-akan saya yang punya dana di Hong Kong sekitar Rp 12-13 triliun, padahal baru terkuak lagi bahwa ada dana US$ 1 miliar atau Rp 12 triliun itu kepunyaan Hesham Al Warraq Thalat dan Rafat Ali Rijvi. Intinya bukan punya saya,” imbuhnya lagi. Kendati sudah memberikan penjelasan, namun Robert mengaku dirinya tetap dijadikan kambing hitam. Meski bukan menjadi pemilik dana, namun yang dinyatakan bersalah tetap Robert Tantular.
“Siapa yang punya uang di luar negeri, yang disalahkan Robert Tantular, lalu kenapa saya sendiri yang ditangkap? Kalau saya punya yang sebanyak itu di luar negeri, hari Sabtu, tanggal 22 November saya sudah di Singapura. Karena sorenya saya tahu sudah dicekal. Dan untuk apa saya kembali lagi? Karena untuk menyelesaikan masalah, dan membantu mencari investor untuk Bank Century,” paparnya.
 Robert Tantular divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar. Robert dinyatakan bersalah karena tidak melunasi surat-surat berharga bodong yang nilainya US$ 203 juta. Sementara untuk 2 dakwaan lainnya yakni pencairan deposito valas nasabah Bank Century tanpa izin dan mengucurkan kredit tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, Robert dinyatakan bebas. Robert Tantular Nilai Kasus Century Sudutkan Satu Partai Mantan pemilik Bank Century Robert Tantular menyatakan polemik yang berkembang seputar penyelamatan Bank Century Rp 6,7 triliun saat ini, sudah berkembang ke ranah politik, dan sudah menyudutkan satu partai politik tertentu. Sayangnya Robert enggan menyebutkan partai politik yang dia maksud.
“Saya senang sekali bisa diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) biar terbuka semua, ini (bailout Bank Century) sebenarnya masalah krisis keuangan tapi diarahkan sebagai masalah politik dimana menyudutkan satu partai, dan mudah-mudahan itu tidak benar semuanya,” tuturnya usai sidang vonisnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9).
Robert juga membantah jika penyelamatan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dikarenakan usaha pemerintah untuk menyelamatkan dana-dana deposan besar Bank Century. Bahkan Robert membantah jika di Century ada dana dari Hartati Murdaya yang ‘nyangkut’. “Tidak ada,” ujar Robert membantah adanya dana Hartati Murdaya di Bank Century. Menurutnya lebih lanjut mengenai dana-dana deposan besar lainnya, lebih baik menunggu audit BPK.Sementara itu menjawab kontroversi penyuntikan dana oleh LPS sebesar Rp 6,7 triliun, Robert menjawab hal yang sama juga dilakukan pemerintah AS kepada perbankannya di saat krisis ekonomi. “Di AS, Citigroup saja sampai disuntikkan dana US$ 45 miliar oleh pemerintah tapi tidak disalahkan, malah Gubernur The Fed dipilih kembali, dan di AS tahun 2009 ada 89 bank yang ditutup dan ratusan miliar dolar sudah dikeluarkan untuk injeksi,” katanya.
“Jadi bukan masalah injeksi, tapi keputusan pengambilalihan Century supaya tidak ada efek-efek berikutnya, jadi bukan ada masalah-masalah lain. Jadi tidak bertujuan menyelamatkan dana deposan besar,” tandasnya. Penangkapan Saya Karena Intervensi JK
Mantan pemilik Bank Century Robert Tantular yang divonis hukuman penjara 4 tahun mengaku penangkapan dirinya tidak sesuai dengan koridor hukum yang jelas. Menurut Robert, penangkapan dirinya adalah atas perintah Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hal ini disampaikannya usai sidang vonisnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9). “Yang saudara-saudara sekalian ketahui itu perintah dari Bapak Wapres JK bukan berdasarkan hukum, jadi penangkapan itu apalagi perampok itu salah alamat karena tidak bisa dibuktikan secara jelas dan saya akan ajukan banding,” tegasnya.
Robert mengatakan dirinya secara tegas tidak menerima tuduhan perampok yang dikenakan pada dirinya. “Padahal itu jelas-jelas perbuatan pemegang saham pengendali Bank Century,” tegasnya. Ditambahkan Robert, awalnya pada tanggal 21 November 2008, dirinya diikutsertakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk merekapitalisasi permodalan Bank Century yang terganggu saat itu. Dan diputuskan manajemen Century untuk ikut menambah modal sebanyak 20% dan Robert pun diberi waktu 35 hari sejak 21 November untuk mencari tambahan modal. “Tapi 25 November saya ditangkap Mabes Polri, ini sudah menyalahi aturan tersebut, tidak bisa dibuktikan secara jelas dan saya akan ajukan banding,” ketusnya.
Robert mengakui dirinya semenjak Januari 2008 sudah berusaha keras mencari investor asing baru untuk menambahkan modal kepada Bank Century.
“Sejak Januari 2008 saya berusaha terus mendapatkan pemegang saham asing dari Korea dan Middle East, tapi karena krisis global September Oktober mengakibatkan likuiditas memburuk sehingga dibutuhkan talangan pemerintah,” tutupnya.



Analisis
Timbulnya kasus ini mengakibatkan terungkapnya kenyataan bahwa mekanisme good corporate governance yang baik belum diterapkan. Hal ini dapat menjadi pemicu perusahaan atau pihak manajemen untuk mengeluarkan informasi-informasi yang memberi dampak positif terhadap harga saham dan dapat mendorong perusahaan untuk cenderung melakukan manipulasi akuntansi dengan menyajikan informasi tertentu guna menghindari terpuruknya harga saham.
Selain dari pihak perusahaan, external auditor juga harus turut bertanggung jawab terhadap merebaknya kasus-kasus manipulasi akuntansi seperti ini. Posisi akuntan publik sebagai pihak independen yang memberikan opini kewajaran terhadap laporan keuangan serta profesi auditor yang merupakan profesi kepercayaan masyarakat juga mulai banyak dipertanyakan apalagi setelah didukung oleh bukti semakin meningkatnya tuntutan hukum terhadap kantor akuntan. Padahal profesi akuntan mempunyai peranan penting dalam penyediaan informasi keuangan yang handal bagi pemerintah, investor, kreditor, pemegang saham, karyawan, debitur, juga bagi masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Dalam melaksanakan tugasnya, auditor memerlukan kepercayaan terhadap kualitas jasa yang diberikan pada pengguna. Penting bagi pemakai laporan keuangan untuk memandang Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai pihak yang independen dan kompeten, karena akan mempengaruhi berharga atau tidaknya jasa yang telah diberikan oleh KAP kepada pemakai. Jika pemakai merasa KAP memberikan jasa yang berguna dan berharga, maka nilai audit atau kualitas audit juga meningkat, sehingga KAP dituntut untuk bertindak dengan profesionalisme tinggi.